Translate

Minggu, 07 Oktober 2012

Analisis Cerpen Secara Sosiologis


1.Aspek Sosial Masyarakat Pinggiran dalam Cerpen PRING RE-KE-TEG GUNUNG GAMPING AMBROL  Karya SENO GUMIRA AJIDARMA
Dalam cerpen ini dapat diidentifikasi latar sosial yang secara nyata menjadi tempat peristiwa terjadi, yaitu latar latar sosial masyarakat pinggiran yang jauh dari hiruk-pikuk kota dan terisolasi. Dengan latar sosial ini, dapatlah diteliti fenomena sosial yang ada.
Pada fenomena sosial kelas bawah yang biasanya identik dengan masyarakat desa yang biasanya masih menjunjung tinggi nilai adat-istiadat dan rasa identitas yang sama yaitu identitas keguyuban, solidaritas, kegotong-royongan dan selalu mengatasi suatu permasalahan dengan musyawarah dan mufakat. Tetapi hal itu tidaklah selalu sejalan dengan kondisi dan situasi masyarakat desa, seperti halnya kesalahpahaman dan kegegabahan dalam mengambil keputusan pun masih sering terjadi. Dengan memahami latar social ini dapat ditemukan hubungan antartokoh, yang kemudian memunculkan persoalan yang menjadi konflik dalam cerpen ini.
Adapun tokoh yang selalu dibicarakan dalam cerpen ini adalah orang-orang yang mengganggap dirinya baik, sebagai perwakilan dari representasi masyarakat yang di kepalai oleh seorang lurah, yang  pada saat itu terlibat konflik dengan perkampungan candala (yang dianggap sebagai perkampungan yang hina, nista penuh dengan perampok dan pelacur yang terkesan sebagai peresah masyarakat desa orang-orang yang mengganggap dirinya baik).

     Dalam masa-masa terentu sebenarnya masyarakat candala sudah dibenci oleh orang-orang yang menganggap dirinya baik, karena masalah yang menimpa desanya selalu dikaitkan dengan ulahnya. Begitu juga tokoh-tokoh lain diantara sesama masyarakat penghuni bukit kapur.

    Suatu ketika terdengar kabar bahwa anak pak carik bernama Mirah ditemukan terkapar dibukit, dengan baju compang-camping seperti habis diperkosa, Kepala desa pun beram bukan main mendengar hal ini, dan menuduh warga perkampungn candala yang melakukan hal demikian. Dan siap memerintahkan 20 desa lain beserta lurahnya untuk menumpas candala.

     Dalam masa yang mempunyai tujuan yang sama, perkampungan orang-orang baik menjalin suatu relasi sosial yang selaras. Hal ini disebabkan oleh adanya system nilai sebagai bentuk fakta sosial yang mengikat hubungan antartokoh. Sistem nilai itu adalah rasa pandangan yang sama yaitu berupa ingin menumpas perkampungan candala yang selalu meresahkan mereka semua.yang ternyatakan dalam kesadaran kolektif untuk berjuang bersama.

     Kebersamaan tujuan inilah sebagai ssstem nilai dan kesadaran menjadi pemersatu dan menjalin interaksi yang padu antara sesama penambang kapur atau perkampungan yang menganggap dirinya baik dan 20 perkampungan lain sesama penambang batu kapur yang memang sudah diresahkan perkampungan candala. Keduanya bertindak dan berperilaku sama, yaitu sebagai masyarakat yang merasa dirugikan oleh perkampungan candela.


     Persoalan disharmoni justru ditunjukan orang–orang yang mengaggap diri mereka baik dan suci dengan pemukiman bawah bukit atau candala. Keduanya terlibat konflik bisa dibilang antar penuduh dan tertuduh. Sekalipun mereka  berdua sama-sama menduduki struktur sosial yang sama yaitu pemukiman yang terisolasi, pinggiran dan ketertinggalan. Kenapa mereka justru tidak seakur seperti halnya orang –orang yang mengaggap diri mereka baik dan suci dengan 20 desa yang merasa diresahkan orang-orang candala, Karena candala dengan orang –orang yang mengaggap diri mereka baik, tidak ada kesamaan tujuan untuk bersatu. Dan justru keduanya terlibat konflik baru yaitu saat khasus pemerkosaan yang dituduhkan pak lurah kepada candala membuat orang-orang baik tersebut semakin benci dengan candala apalagi memang kebencian terhadap candala sudah terjalin lama.
     Hal ini menunjukan bahwa fakta sosial masyarakat pinggiran dalam hal ini orang-orang yang menganggap dirinya baik begitu mudahnya menerima kenyataan yang sebenarnya belum seratus persen terjadi, karena baru praduga yang kebenaranya masih belum teruji. Seperti halnya saat lurah mereka melayangkan dugaan pemerkosa Mirah anak pak carik adalah seorang dari perkampungan candala. Masyarakatnya begitu dogmatis, dan bahkan langsung membakar kebencian yang sudah terpendam sebelumnya, tentu ini sedikit ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat dalam cerpen ini, yang seharusnya menghadapi masalah dengan berembug atau musyawarah secara kekeluargaan dengan tertuduh untuk mengetahui benar kejelasanya, tetapi justru langsung mengambing hitamkan candalalah biang dari masalahnya, yang justru sama sekali tidak tahu menahu permasalahan yang di alamatkan padanya.

seperti kutipan cerpen berikut yang tanpa alasan yang jelas, kasus dilayangkan pada candala:

Tidak jelas juga mengapa kecurigaan dan kesalahan harus dialamatkan kepada perkampungan para pencuri.

“Seandainya pun tidak ada peristiwa pemerkosaan ini, perkampungan candela itu memang sudah lama harus dibakar,” kata Pak Lurah kepada jagabaya yang hanya bisa mengangguk-angguk tanpa kata.

selain itu berikut contoh cuplikan cerpen mengindikasikan bahwa perkapungan orang-orang baik pun sebenarnya tidak punya alasan mengapa candala yang harus dituduh atas kasus pemerkosaan Mirah.
    Betapa pun kali ini seperti terdapat kesepakatan tanpa perlu peresmian bahwa perkampungan itu sudah waktunya dimusnahkan, jika perlu tanpa alasan!
Kebencian, ya kebencian yang tidak mungkin dicari alasannya, adalah satu-satunya alasan itu sendiri….


      akan tetapi berbeda dengan tertuduh atau candala yang merepresentasikan masyarakat desa yang tenang dan sabar atas tuduhan yang dialamatkan padanya, meskipun dalam cerpen mereka dianggap perkampunhan nista, perampok dan hina. Tetapi tetap merefleksikan kermahan sebagai seorang warga desa.
 Bahkan diantara mereka yang disambangi jagabaya yang menanyakan tentang pemerkosa.menjawab dengan tenang dan berbicara dengan baik-baik. Terbukti jagabaya yang datang ke kampung candala tidak lantas dihajar, dibuli dan sebagainya, berikut salah satu cuplikan dialog yang ada dalam cerpen yang menunjukan tidak perlu dengan kekerasan dalam menjawab pertanyaan jagabaya bahkan menjawab dengan baik-baik, meski berulang kali datang untuk menanyakan pemerkosa.
“Mungkin kami memang sebangsa candala, tetapi kami sama sekali tidak perlu memperkosa siapa pun karena cinta setelah dibagi rata masih selalu bersisa”
Bahkan kaum candala berkata bahwa mereka tidak takut mati karena apapun yang kami lakukan selalu kami pertanggungjawabkan dengan seluruh hidup kami.
     Sehingga efek sosial yang terjadi di sini adalah lurah dan golonganya lah yang salah, karena terpresentasikan bahwa mereka gegabah menuduh pelaku pemerkosa, dan berakhir dengan kerusuhan yang bahkan melibatkan 20 desa sekitar atas panggilanya untuk berpartisipasi menghancurkan candala. Selain itu efek sosial yang muncul adalah ketidaksesuain masyarakat desa dalam hal ini masyarakat desa yang menganggap dirinya baik, yang seharusnya menjunjung tinggi moral tetapi tidak terepresentasi demikian. Ketimpanganya ditandai dengan perilaku masyarakatnya yang masih suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan.

     Persepsi yang muncul terhadap adanya konflik ini yaitu 1. lurah dan masyarakat yang menganggap dirinya baik ternyata masih suka menyelesaikan masalah dengan kekerasan dan suka menuduh tanpa alasan yang jelas, dan 2. Sebaliknya candala terepresentasikan sebagai masyarakat yang bertanggung jawab atas semua tindakanya meski dinistakan oleh orang-orang yang menganggap dirinya baik.

     Hal ini menunjukan gagalnya koordinasi antara kedua kubu yang kurang adanya komunikasi sosial dalam menyikapi masalah, jelas kerugianya menimpa perkampungan candala, karena sudah dibenci, dikambinghitamkan, dinistakan bahkan sampai disambangi ribuan orang dari kumpulan warga desa untuk dihabisi.

2. Relasi Sosial Antar Masyarakat Perkampungan dalam Cerpen PRING RE-KE-TEG GUNUNG GAMPING AMBROL Karya SENO GUMIRA AJIDARMA
     Pada misi yang sama, yaitu kondisi dan situasi yang saling membutuhkan, ikatan social dapat menyatukan banyak pihak, tidak terkecuali kerumunan 20 desa yang mempunyai tujuan yang sama saat ingin menghabisi pemukiman cendala. Karena persamaan tujuan itulah mereka bersatu dan tidak perduli lagi dengan perbedaan status sosial.
     Disharmoni justru muncul saat fakta social yang dipresentasikan oleh lurah dan warganya mencairkan masalah pemerkosaan yaitu mencari pelakunya dan menuduh pemukiman candala. Konflik ini disebabkan kenyataan bahwa kesalahpahaman, karena lurah yang dalam menangani suatu masalah sangat gegabah.
     Melihat juga dari kaca keterasingan pemukiman bukit kapur yang dimungkinkan karena kurangnya pendidikan, dan kemudian berimbas pada ekonomi yang hanya hidup dari menambang batu kapur, sangat dimungkinkan pertumbuhan karakter kurang begitu terarah,  mereka kurang mengertia akan prinsip hidup, mereka para warga cenderung dogmatis dalam meresepsi apa yang didengarkan, mereka lekas percaya dan mau melakukan tindakan. Seperti saat lurah mereka menuduh candala adalah biang keladinya, mayarakat tanpa penyelidikan lebih lanjut langsung mau untuk mengepung candala dan menghabisinya.  
    Dalam cerpen ini persoalan social muncul dalam konteks social kehidupan masyarakat pinggiran yang bisa dibilang terasingkan oleh asap dan polusi kendaraan. Cerpen ini memfokuskan relasi sosial disharmoni anatar sesama masyarakat pinggiran, yang direpresentasikan perkampungan orang-orang yang baik dan perkampungan candala, Cerpen ini menampilakan hilangnya representasi masyarakat desa yang digambarkan oleh lurah dan warganya dalam menangani masalah pemerkosaan anak pak carik bernama mirah karena dalam menghadapi masalahnya tidak dengan sikap kekeluargaan seperti halnya masyarakat desa pada umumnya yang selalu menjunjung tinggi sistem nilai.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Analisis Struktural dan Semiotik Puisi


ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK PUISI KISAH YANG PALING PUISI KARYA DIMAS INDIANTO S

MAKALAH








                                                                                                                                                                            
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Mata kuliah Kajian Puisi Abdul Wachid B.S., S.S.,M.Hum.

Disusun Oleh
NAMA   : BANGKIT BAGAS WIDODO
NIM       : 110104OO89
PRODI   : PBSI  2C


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHPURWOKERTO
Tahun akademik 2012

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan karya sastra, khususnya jenis sastra puisi sangatlah pesat,.puisi  yang merupakan pernyataan sastra yang paling inti sampai sekarang masih begitu diminati. Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah puisi modern. Banyak sesuatu yang muncul terutama dalam segi struktur, dan konvensi yang khusus, sehingga untuk memahaminya perlu dimengerti dan dipelajari konvensi-konvensinya baik berupa simbol dan struktur puisi tersebut. Dan dalam memahami makna dari variasi-variasi tersebut tentu dibutuhkan suatu analisis.
            Menganalisis  sastra atau mengkritik karya sastra (puisi) menurut Culler (Pradopo, 2011: 141) adalah “usaha menangkap makna dan memberi makna dalam teks karya sastra (puisi)”. Unsur-unsur karya sastra  dibentuk dari struktur yang bermakna dan dibangun dari sistem tanda sehingga untuk mengupasnya salah satu caranya yaitu dengan menganalisis menggunakan teori struktural dan semiotik.
Karya sastra itu merupakan struktur makna atau struktur yang bermakna, Pradopo (Teeuw, 1983: 61) mengemukakan bahwa “analisis structural ini merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain”. Hal ini mengingat bahwa karya sastra (puisi) merupakan sistem tanda bermakna dengan bahasa sebagai mediumnya.
Untuk menganalisis struktur sistem tanda ini perlu adanya kritik struktural untuk memahami makna tanda-tanda yang terjalin dalam system (struktur)  tersebut. Selain itu analisis secara semiotik merupakan langkah penting untuk menganalisis puisi sebagai sistem tanda dan menentukan keterkaitan yang memungkinkan puisi mempunyai bermacam-macam makna sebab analisis struktural menurut Teeuw (Wachid, 2010:14)  “hanya dapat mengungkap unsur kepuitisanya saja. Ilmu tentang tanda ini disebut semiotic”. Preminger dan Abrams, (Pradopo 2011: 141)
            Dalam makalah ini, penulis mengambil contoh puisi karya Dimas Indianto S. yang berjudul KISAH YANG PALING PUISI   ; bersama perempuan biru, yang akan dianalisis dengan metode struktural dan semiotik. 
B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah tentang “Analisis Struktural dan Semiotik terhadap puisi berjudul “Kisah yang paling puisi”  karya Dimas Indianto S.  adalah untuk :
1. Untuk membedah makna serta menemukan aspek kepuitisan dengan cara analisis struktural dan semiotik.
2. Untuk memahami dan mengetahui penggunaan kata baik gaya bahasa, citraan, majas dan unsur-unsur kepuitisan yang terdapat dalam puisi tersebut.
C. RUMUAN MASALAH
Rumusan masalah yang terkandung dalam makalah ini adalah bagaimana unsur-unsur yang terkandung dalam puisi bejudul “Kisah yang paling puisi”  karya Dimas Indianto S.
D. TEORI DAN METODE
Sebuah puisi merupakan suatu kesatuan yang utuh, dan puisi merupakan struktur tanda yang bermakna dan bersistem. Sehingga tidak cukup unsur-unsurnya dibicarakan secara terpisah. Menganalisis puisi itu bertujuan memahami makna yang ada di dalamnya dan berusaha memberi makna kepada teks puisi. untuk memahami makna secara kesleruhan perlulah sajak dianalisis secara struktural dan disatukan dengan analisis semiotik
Adapun langkah-langkah penulis dalam memahami sebuah teks dalam hal ini
Metode yang digunakan dalam menganalisis puisi ini yaitu dari sudut pandang strukturalisme dengan cara mengeksplesitkan unsur pembentuk puisi dan memahami antar unsure itu, menurut Teeuw (Wachid 2010: 14)  “dipahami atas dasar tempat dan fungsinya di dalam sajak” dan “metode dari sudut pandang semiotik yaitu dengan cara mengeksplesitkan konvensi yang membangun sastra dan asumsi implisit yang menentukan makna puisi”. Preminger et al. (Wachid, 2010: 15)


BAB II
PEMBAHASAN

A. ANALISIS KATA

            Satuan linguistik yang menentukan stuktur formal linguistic disebut kata.  Analisis kata dapat ditinjau dari arti kata dan efek yang ditimbulkanya. Diantaranya arti denotative dan konotatif, pemilihan kata, bahasa kiasan,citraan sarana retorika. (Pradopo, 2010 : 48).
            Semua itu digunakan pengarang untuk melahirkan pengalaman jiwanya dalam sajak-sajaknya. Kata memegang peranan penting dalam kelahiran karya satra puisi.
Berikut analisisnya :
           
1.      Pilihan Kata atau Diksi

            Pilihan kata sangat menentukan nilai keidahan dalam sebuah karya sastra (puisi), sehingga pemilihan kata dalam puisi begitu penting, menurut Berfied (Pradopo, 2010 : 54) menyatakan “bahwa bila kata-kata yang dipilih menimbulkan imajinasi genetik, maka hasilnya diksi puitis” .  Selain itu diksi tidak saja hanya menyampaikan gagasan, tetapi juga dituntut untuk mampu menggambarkan imajinasi sang penyair, dan yang tidak kalah penting dapat memberi pemahaman pada pembaca tentang maksud penyair dalam puisinya.
Seperti yang dicontohkan dalam puisi “Kisah yang paling puisi”  karya Dimas Indianto S.

Sajak Dimas Indianto S

 KISAH YANG PALING PUISI
; Bersama perempuan biru

Dalam gerimis yang rintikanya serupa melati,
Aku termenung dalam bisu di tepian kelopaknya
Dengan tubuh gigil menggenggam apa yang kau
Namai dengan kesetiaan.

Kau hadir dengan segurat senyum yang kurindu
Menawarkan cinta yang tak pernah kutahu muasalnya,
Seperti angin yang mendaki leherku, berhembus sejenak,
Dan menjadi sedia kala.

Akh, melati ini makin lusuh saja. Katamu.
Warnanya aroma anyir !
Maka, kubawakan segelas kata-kata
Untukmu, kekasih.

Lalu kau mengajakku menyatu menjadi serupa pelangi
Bercinta habis-habisan sambil menyenandungkan lagu  rindu
; Menyulam kisah yang paling puisi.
                      
            Pilihan kata yang digunakan dalam  puisi “Kisah yang paling puisi”  karya Dimas Indianto S., mengandung-kata-kata yang sederhana dalam artian jarang ditemukan kata di luar kamus, namun ada juga kata yang ditemukan mengalami penghilangan imbuhan ataupun jika dilihat dari faktor ketatabahasaan. Misalkan bentuk ‘muasalnya’
Dari cuplikan puisi berikut
…..
Menawarkan cinta yang tak pernah kutahu muasalnya,
Bentuk ‘muasal’ sebenarnya bisa berupa penyingkatan yang berasal dari bentuk ‘asal-muasalnya’.

‘gigil’ dalam cuplikan sajak berikut :
…..
Dengan tubuh gigil menggenggam apa yang kau
Namai dengan kesetiaan.

Penghilangan imbuhan (meN-) dari bentuk  ‘menggigil’ menjadi ‘gigil’ pada umumnya untuk melancarkan ucapan atau bisa untuk mendapatkan irama. Begitu juga pada penghilangan bentuk ‘asal’ dari ‘asal-muasal’.


            Penyair mengekspresikan pengalaman dan juga mencurahkan perasaan dan isi pikiranya dengan setepat-tepatnya secara padat dan jelas, sehingga selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain. Dalam menulis puisinya Dimas Indianto S. lebih mengutamakan imajinasi, sehingga pembaca dapat membayangkan gambaran tentang keadaan ataupun perasaan yang sedang dialami seperti pada baris puisi berikut :
Dalam gerimis yang rintikanya serupa melati,
Aku termenung dalam bisu di tepian kelopaknya  
 ….

         Dapat digambarkan bahwa dalam keadaan gerimis penyair termenung dalam tepian kelopak melati, yang tidak lain penggambaran rintik hujan yang jatuhnya bagaikan kelopak melati.

2        Gaya Bahasa

            Gaya bahasa seperti majas merupakan alat yang digunakan penyair untuk mempelangikan puisinya, gaya bahasa ini sebenarnya dapat dibedakan dengan bermacam-macam, seperti gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, maupun langsung tidaknya makna. Struktur kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa (Keraf, 2009 : 124). Bahasa kiasan ini ditemukan dalam puisi “Kisah yang paling puisi”  karya Dimas Indianto S.

a.      Personifikasi (Penginsanan)
      Personifikasi merupakan gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Contoh dalam penggalan puisi berikut :

      Seperti angin yang mendaki leherku, berhembus sejenak,
      Dan menjadi sedia kala.

b.      Repetisi
Repetisi merupakan gaya bahasa dengan adanya perulangan bunyi, suku kata,atau bagian lain yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Contoh dalam penggalan puisi berikut :
            KISAH YANG PALING PUISI
; Bersama perempuan biru
      Dengan
            ; Menyulam kisah yang paling puisi.
Penulisan kembali kalimat “Kisah yang paling puisi” merupakan bentuk pengulangan, yang sangat dimungkinkan agar member penekanan kembali.dan member efek lebih.
c.   Simile atau persamaan
Adalah perbandingan yang bersifat eksplisit yaitu langsung menyatakan sesuatu hal dengan sesuatu hal yang lain.
 Didalam simile perbandingan dinyatakan dengan kata-kata tertentu misalnya”se”, “sebagai”,bagaikan” dan seterusnya (Wachid 2012 : 77)

Dalam gerimis yang rintikanya serupa melati,
…..

Lalu kau mengajakku menyatu menjadi serupa pelangi
…..
d.      Metonimia
Adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain, karena mempunyai suatu pertalian yang sangat dekat.
Seperti:

     Maka, kubawakan segelas kata-kata
     Untukmu, kekasih.

    Untuk membawakan sekumpulan kata-kata ia menggunakan kata segelas, yang ada  kedekatan dengan kumpulan.

3.      Citraan
           
            Dalam puisi citraan digunakan untuk membuat gambaran segar dan hidup, seperti dikemukakan oleh Coombes (Pradopo, 2010 : 133), yaitu” citraan yang berhasil menolong kita untuk merasakan apa yang dirasakan penyair terhadap objek dan situasi yang dialaminya dengan  tepat”.
            Gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam, dihasilkan oleh alat indra penglihatan, pendengaran,perabaan, pencecapan (pengecapan) dan penciuman bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan. (Pradopo, 2010 :81)
            Dalam puisi   berjudul “Kisah yang paling puisi”  karya Dimas Indianto S.     citraan yang digunakan misalnya yaitu citraan, penglihatan, ,gerak, pendengaran dan sebagainya.

a.      Citraan Penglihatan
                               Citraan penglihatan adalah citraan yang paling sering dipergunakan oleh  penyair dibandingkan dengan citraan yang lain.  Citraan penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang seolah tak terlihat seolah-olah terlihat (Pradopo 2010: 81)  misalnya seperti pada puisi bait berikut :
       
      “Dalam gerimis yang rintikanya serupa melati”

                        Cuplikan puisi diatas dapat membangkitkan angan-angan  kita tentang keadaan    ataupun  situasi yang disajikan penyair dengan alat indera penglihatan yaitu mata.
Begitu juga dengan cuplikan puisi berikut
       
Lalu kau mengajakku menyatu menjadi serupa pelangi
Dalam  penggunaan kata menyatu serupa pelangi menampakan keadaan yang bisa dilihat dan dinikmati oleh indera mata kita.

b.      Citraan Pendengaran
                   Citraan pendengaran adalah suatu kata memberi efek dan imajinasi khususnya   pada pendengaran yaitu telinga. Seperti pada puisi baris berikut :
      
        Bercinta habis-habisan sambil menyenandungkan lagu  rindu
            Makna di atas dapat diimajinasikan dengan alat indera pendengaran yaitu telinga.   Karena ditandai dengan ditandai menyenandungkan lagu rindu, sehingga seolah terdengar suara yang ditembangkan.
c.       Citraan Penciuman
                    Citraan penciuman terjadi apabila suatu kata memberi efek dan imajinasi khususnya pada indera pembau yaitu hidung kita.
Akh, melati ini makin lusuh saja. Katamu.
Warnanya aroma anyir !
……
Penggunaan kata aroma dan anyir jelas mengaktifkan indera kita yaitu hidung kita, sehingga  terkesan membangkitkan imajinasi bahwa aroma melatinya anyir (tidak mengenakan,amis) selain itu dalam cuplikan puisi ini pun didukung dengan citraan penglihatan yaitu kata lusuh, yang mencitrakan rusak, usang atau hilang warnanya.

d.      Citraan Perabaan
             Citraan perabaan adalah suatu kata memberi rangsangan atau efek dan imajinasi khususnya pada alat peraba yaitu kulit.
e.       Citraan Gerak
             Citraan gerak adalah suatu kata memberi imajinasi berupa efek perpindahan dari tempat satu  ke tempat yang lain atau memberi gambaran sesuatu yang bergerak. Seperti pada puisi baris berikut :
        
Seperti angin yang mendaki leherku, berhembus sejenak,
Dan menjadi  sedia kala.
      Kata mendaki dapat memberi efek gerak, yang seolah angin  tersebut mendaki, melakukan      sesuatu pekerjaan berupa pendakian, dan disini efek gerak dikombinasikan dengan citra visual atau penglihatan, karena angin tersebut seolah-olah memiliki kaki untuk mendaki.
selain itu masih juga terdapat cuplikan puisi yang menunjukan adanya citraan gerak
 .....
 Dengan tubuh menggigil menggenggam apa yang kau
 Namai dengan kesetiaan.
         Menggigil tentu didalam angan-angan akan memunculkan gambaran tentang sebuah gerak, yang gerakan berupa menggigil.
f.       Citraan Pengecapan
          Citraan pengecapan adalah suatu kata memberi rangsangan dan imajinasi khususnya pada indera pengecap yaitu lidah kita.    

4.      Sarana Retorika
           
            “Sarana retorika adalah sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran” Altenbernd (Pradopo, 2010: 93). Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran hingga pembaca berkotemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Jenis sarana retorika yang digunakan penyair berbeda-beda, tergantung angkatannya, paham serta konvensi dan konsepsi estetiknya bahkan penyair mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam sajaknya. Seperti halnya sajak karya Dimas Indianto S. yang berjudul “Kisah yang paling puisi”
Menggunakan sarana retorika tautologi ialah sarana tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. (Pradopo, 2010: 95) Sering kata yang dipergunakan untuk mengulang itu tidak sama tetapi artinya sama atu hamper mirip.
Lalu kau mengajakku menyatu menjadi serupa pelangi
Kalau dicermati kata menyatu dan pelangi mempunyai kesejajaran yang sama-sama bernuansa menyenangkan.

B.     ANALISIS  STUKTURAL DAN SEMIOTIK PUISI

            Pada analisis semiotika ini berusaha untuk menganalisis puisi dengan tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti. Dengan melihat variasi di dalam struktur dalam atau hubungan didalamnya, maka akan dihasilkan macam-macam arti. Analisis semiotik itu tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural, tugas semiotik ini adalah membuat asumsi sehingga akan terproduksi arti dalam sebuah puisi. menurut Ferdinand (Redyanto, 2010 : 80) sebagai sistem tanda bahasa (makna) besifat konvensional.

       Dalam puisi berjudul “Kisah yang paling puisi”  karya Dimas Indianto S.  merupakan ungkapan tentang gambaran yang dialami penyair atau penggambaran tentang perasaanya. Puisi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

       Dalam sajak ini digambarkan bahwa si aku membisu dan menggigil dalam guyuran gerimis yang percikan airnya serupa melati, percikan gerimis yang serupa gelombang ditepian air ketika hujan. Dalam hati si aku ia merasa muram hatinya, sebab ia kecewa terhadap si kau (kekasihnya) yang menganggap bahwa yang dilakukanya merupakan tanda kesetiaan.Si aku bingung terhadap sikap yang dilakukan kau, yang justru datang tanpa berdosa, dan menawarkan cinta yang tidak dimengerti oleh si aku, yang diibaratlan seperti angin yang datang menyapa lehernya dan kembali seperti asal. Dan ia merekam kata-kata yang di rekam oleh si aku yang katanya melati ini semakin lusuh saja, kata melati ini bisa dikiaskan sebagai suatu hubungan, kesucian, kebahagian ataupun cinta, yang warnanya  aromanya anyir,yang terkesan sudah tidak menyenangkan lagi. Lalu si aku membawakan segelas kata-kata, untuk mengungkapkan kumpulan kata-kata.. Entah apa yang dikatakan oleh si aku pada si kau hingga kau disni mengajak si aku untuk bersatu, yang serupa pelangi, terbeberlah keadaan yang membahagiakan yang indah seperti serupa pelangi dengan tanpa putusnya kata-kata rindu yang disenandungkan oleh mereka, adapun rindu bias diartikan sebagai puncak cinta.

C.   Ketidaklangsungan Ekspresi
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dikemukakan apa yang dimaksud dengan makna puisi. Makna puisi dalam karya sastra bukanlah semata-mata arti bahasanya (arti leksikal atau denotatifnya), melainkan arti bahasa dengan segala unsur pembentuknya baik berupa arti tambahan konotasi maupu tanda-tanda kebahasaan atau tanda-tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi sastra misalkan enjambement, rima, homolog dan tipografi..
            “Puisi (sajak) adalah struktur (tanda-tanda ) yang bermakna”  Pradopo (Wachid:2010: 14), karya sastra ini menjadikan bahasa sebagai medianya. “Sementara itu bahasa sebelum menjadi sajak telah mempunyai arti, sebagai sistem tanda tingkat pertama dan ketika menjadi sajak ditingkatkan sistemnya menjadi makna (significant) sebagai semiotik tingkat kedua Wachid (Pradopo 2010:14)
Menurut Riffaterre (Pradopo, 1987: 280 ) “Untuk memahami makna atau memberi makna puisi digunakan metode pemroduksian makna, salah satunya adalah ketaklangsungan ekspresi”.  Ketaklangsungan ekpresi tersebut disebabkan oleh 3 hal : (1) Penggantian arti,(displacing of meaning), (2) Penyimpangan arti (distorting of meaning) dan (3) Penciptaan arti (creating of meaning).
1.      Penggantian arti
Penggantian arti menurut Riffatere (Pradopo, 1978: 282), “disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi atau secara umum adalah bahasa kiasan yang banyak ragamnya,meliputi juga simile, personifikasi, dan sinedok”. Secara khusus metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, (Keraf, 2009 : 138-139). “Kiasan yang menyatakan seseuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama” Altenben, (Pradopo, 2010:212). Begitupun juga persamaan atau simile yang dimaksudkan yaitu langsung menyatakan hal yang lain  dan memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukan suatu kesamaan itu, yaitu kata-kata : seperti seupa, bak dan sebagainya (Keraf, 2009 : 137-138)  Misalnya dalam bait sajak Dimas Indianto S., ditemukan gaya bahasa kiasan Simile atau persamaan. Pada bait pertama baris pertama, berikut :
            …..
Dalam gerimis yang rintikanya serupa melati

 Sajak Dimas Indianto S.

 KISAH YANG PALING PUISI
; Bersama perempuan biru

Dalam gerimis yang rintikanya serupa melati,
Aku termenung dalam bisu di tepian kelopaknya
Dengan tubuh gigil menggenggam apa yang kau
Namai dengan kesetiaan.

Kau hadir dengan segurat senyum yang kurindu
Menawarkan cinta yang tak pernah kutahu muasalnya,
Seperti angin yang mendaki leherku, berhembus sejenak,
Dan menjadi sedia kala.

Akh, melati ini makin lusuh saja. Katamu.
Warnanya aroma anyir !
Maka, kubawakan segelas kata-kata
Untukmu, kekasih.

Lalu kau mengajakku menyatu menjadi serupa pelangi
Bercinta habis-habisan sambil menyenandungkan lagi rindu
; Menyulam kisah yang paling puisi.
 Metafora dalam sajak ini, pada bait pertama : gerimis, melati, kelopak, Dalam bait kedua : cinta, angin. Dalam bait ketiga : melati, segelas, kekasih. Dalam bait keempat : pelangi,bercinta, menyenandungkan, lagu, rindu. Semuanya dapat dimungkinkan menggantikan hal-hal atau benda-benda lain. Bahkan pada judulnya dimungkinkan mempunyai arti lain, seperti perempuan dan biru:
 Kisah yang paling puisi :  mungkin yang dimaksudkan adalah kisah atau peristiwa yang pernah dialami oleh penyair dan dianggapnya seperti puisi yang penuh dengan ungkapan batin,perasaan dan ada tambahan kata ‘paling’ yang tidak lain mempunyai makna lebih, sedangkan definisi puisi sangatlah luas, tetapi kurang lebih puisi adalah curahan perasaan ataupun peristiwa yang paling dalam, baik suka maupun duka, baik yang pernah dialami atau pun hanya seutas angan-angan. Jika benar bahwa itu kisah, baik sedih maupun senang paling tidak dapat ditafsirkan dengan memaknai isi bait-baitnya.
Bait pertama
            Baris pertama secara metaforis menyatakan bahwa
Dalam gerimis yang serupa melati,
…….
Kata gerimis dapat diasosiasikan atau menggantikan suatu keadaan sedang turun hujan, dan jika sebagai sistem tanda kedua dapat bermakna,menggambarkan suasana yang muram, sedih, gelisah dan kesepian seperti muramnya wajah awan saat mendung atau mungkin juga keadaan rintikan air mata penyair yang tidak deras.
Kata melati, secara sistem tanda pertama dalam kamus besar bahasa indonesia bisa dicari definisinya yaitu tumbuhan perdu suku Rubiaceae, warna bunganya putih berbentuk bintang, terletak pada tandan kecil, berbau sangat harum,. Dan jika sistem tanda kedua dapat bermakna  kesucian, kebahagiaan, tetapi yang diungkapkan penyair disini adalah ‘Dalam gerimis yang rintikanya serupa melati’ mungkin yang dimaksud oleh penyair, gerimis yang jatuh kebumi serupa melati, dapat digambarkan seakan-akan percikanya seperti bunga melati yang jatuhnya membentuk suatu gelombang (lihat ketika hujan turun). Karena akan aneh rasanya jika diinterpretasikan, gerimis yang baunyanya seperti sifat melati yang harum (tidak ada gerimis yang harumnya seperti melati, tetapi jika sifat putih,sucinya masih bisa dikaitkan dengan sifat air yang turun dari langit karena dapat digunakan untuk bersuci (wudhu). Tapi jika dikaitkan dengan kesucian tetes tangis yang suci diperagakan penyair masih bias dikaitkan. Ini bisa menggambarkan citraan penglihatan keadaan kondisi saat terjadinya hal itu.
Baris kedua
Aku termenung dalam bisu di tepian kelopaknya
Termenung dalam bisu  dapat menyatakn situasi atau keadaan yang sedang dialami penyair, dan ditepian kelopaknya, imbuhan ‘Nya’ pada kata kelopaknya,dapat diinterpretasikan sebagai tepian kelopak melati, dengan kata lain masih menyangkut tentang melati. memang bagian bunga melati terdapat kelopak, tangkai bunga, putik dan sebagainya. Disini kelopak dapat mengiaskan jatuhnya gerimis itu membentuk gelombang seperti halnya bentuk kelopak pada bunga melati, mungkin saat dia termenung dia sempat memperhatikan rintik hujan yang serupa kelopak melati.
Baris ketiga
Dengan tubuh gigil menggenggam apa yang kau
Namai dengan kesetiaan
Menyatakan bahwa tubuh gigil : menggambarkan tentang keadaan orang yang kedinginan mungkin karena guyuran air hujan atau menangis (tersedu-sedu) sehingga seakan-akan menggigil, dan dalam hati penyair dia merasa bahwa kau (kekasih) akan senang melihatnya seperti ini, karena  dalam pikiran penyair merasa perbuatanya ini adalah sebagai bentuk pengorbananya dalam menanti atau menunggu kau (kekasihnya) atau dengan air matanya ini (yang ditunjukan dengan menggigil) si kau (kekasihnya) akan berpikiran bahwa cintanya begitu dalam sehingga sampai seorang laki-laki meneteskan air matanya.

Bait Kedua
            Segurat senyum dalam  Baris pertama “Kau hadir dengan segurat senyum yang kurindu” : menggambarkan bahwa si kau (kekasihnya), datang dengan segurat, secarik senyum, yang sudah dirindu-rindukan oleh si aku (penyair), rindu dapat dikiaskan sebagai puncak cinta, selain itu si kau, dalam hadirnya juga menawarkan cinta, yang oleh si aku tidak diketahui dari mana datangnya, yang disamakan dengan “angin yang mendaki leherku, mendaki disini dapat diasosiasikan dengan menyentuh diri penyair dan angin itu berhembus sejenak , dan menjadi sedia kala.
Bait ketiga

            Baris pertama secara metaforis menyatakan bahwa melati (dapat bermakna yaitu , kesucian yang semakin lusuh (tak karuan) bahkan warnanya aroma lamis, lamis ini dalam kamus dapat berarti amis,seperti bau ikan laut. dan jika bunga melati ini di ibaratkan aroma dan warnanya lamis dapat diasosiasikan dengan sesuatu yang sudah tidak harum lagi,tidak menarik lagi, tidak putih dan suci lagi, lalu sesuatu apakah yang dibicarakan, dapat diinterpretasikan dengan suatu hubungan atau mungkin kesetiaan

Bait keempat,
Dalam bait keempat ada beberapa kata yang mempunyai makna lain, seperti pelangi : secara metaforis dapat menyatakan suatu hal yang indah, berwarna, menyenangkan, menarik,dan jika dalam pemaknaan yang lengkap dalam cuplikan bait berikut
 Lalu kau mengajakku menyatu menjadi serupa pelangi
  ……
dapat memiliki makna bahwa kekasih Si aku, mengajak menyatu, tidak berpisah, atau bisa saja berpelukan menjadi serupa pelangi, karena suasana hati yang berwarna warni bercampur aduk, baik senang,seduh, gundah kecewa, yang jika masing-masing dikonsepkan menjadi suatu warna jika menyatu akan tampak seperti pelangi yang menarik dan menyenangkan.
Bercinta habis-habisan sambil menyenandungkan lagu rindu
Dan akhirnya keduanya habis-habisan, menyenandungkan lagu rindu, secara nalar dalam suatu kerinduan kata-kata yang sering diungkapkan adalah mengucapkan kata I miss you.
Dan yang terakhir si aku menyebutkan menyulam kisah yang paling puisi, ini karena bahan yang sudah ada (kisah yang sudah terjadi) di sulam yang bersinonim dengan kata menggubah, merangkai kisah perasaan dalam sebuah puisi.

B. Penciptaan arti
Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara lingusitik tidak memiliki arti. Diantaranya adalah enjambement, tipografi, dan homologues. (Pradopo:2011: 129)

      B.1 Enjambemen
     Enjambemen merupakan pemutusan kalimat untuk diletakan pada baris berikutnya, ini hampir mirip dengan pembentukan tata huruf, karena menyangkut visual dalam sebuah puisi. Dan tujuan utama adanya enjambemen adalah untuk membangun satuan kata atau kalimat yang mengandung suatu makna tertentu atau memberi tekanan makna.
Misalkan pada  Puisi karya Dimas Indianto S. ada cuplikan puisi berenjambement.
Seperti angin yang mendaki leherku, berhembus sejenak,
Dan menjadi sedia kala.
 cuplikan puisi sebenarnya dapat ditulis tanpa ada pemotongan dan pemutusan kalimat, dan menjadi seperi ini.
 …..
 Seperti angin yang mendaki leherku, berhembus sejenak, dan menjadi sedia kala.

            Tetapi tanpa adanya enjambement ini, kadang kala pembaca dalam menganalisis atau memaknainya tidaklah fokus, karena bagian-bagian tersebut tidak mempunyai keistimewaan apapun, kurang tertonjol  dari pada yang menggunakan enjambemen. Bagian-bagian yang mengunakan enjambement tersebut seakan minta dan harus diperhatikan oleh setiap pembaca. Dengan kata lain,bagian-bagian tersebut kini lebih nyata pentingnya.
B.2 Tipografi (Tata Huruf),
Secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi mempunyai makna dalam sastra karena konvensinya. Puisi karya dimas Indianto S., secara tipografis merupakan bentuk puisi modern, yang tidak lagi terikat oleh peraturan dan jumlah baris dan bait. Bentuk pemenggalan atau enjambemen yang muncul dalam puisi ini menunjukan adanya penekanan pada bagian-bagian tertentu. Fungsi tipografis ini bukan hanya sekedar untuk kepentingan visual saja, tetapi dapat untuk menekankan makna kata agar menimbulkan intensitas atau sugesti yang tinggi.
B.3 Homologues (Persamaan Posisi)
Semua tanda di luar kebahasaan ini menciptakan makna diluar kebahasaan, misalnya tampak pada sajak pantun atau semacam pantun,yang  berisi baris-baris sejajar (Pradopo, 2011 : 131-132) dalam sajak yang dianalisis disini penciptaan arti dengan homologues tidak ditemukan.

C. Penyimpangan Arti
Dikemukakan oleh Riffaterre (Pradopo,2010:213) bahwa “penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense”.
C.1 Ambiguitas (polyinterpretable)
Disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda, lebuh-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun kalimat. Ambigu ini ditemukan dalam puisi yang dianalisis dalam makalah ini seperti ”serupa melati” dalam cuplikan “Dalam gerimis yang rintikanya serupa melati”  yang itu  dapat berarti sepeti bunga melati, namun lebih ambigu lagi jika digabungkan dengan konteks kalimatnya. Apakah bentuk rintik gerimis  yang jatuh serupa dengan bunga melati!
 Lalu bagaimana dengan melati pada cuplikan puisi  “Akh, melati ini makin lusuh saja. Katamu” apakah sama arti melati pada bait pertama dengan bait ketiga baris pertama. (apakah sang penyair (aku) saat bertemu Kau (kekasihnya membawa bunga melati..?) tentu ini membingungkan dan membutuhkan pemikiran karena keambiguanya.
C.2 Kontradiksi
Berarti mengandung pertentangan, disebabkan oleh paradoks atau ironi
Dalam sajak modern biasanya banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Namun tidak ditemukan kontradiksi dalam puisi yang dianalisis ini.

C.3 Nonsense
Merupakan bentuk kata-kata yang secara lingusitik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosakata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih menjadi bentuk baru. Pengulangan suku kata. Nonsesnse ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, baik suasana aneh, suasana gaib ataupun suasana lucu (Pradopo 2010 ; 219) dalam puisi ini tidak diemukan adanya nonsense karena hampir keseluruhan kata yang digunakan bahasa yang sering digunakan sehari-hari.
                                               



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

            Berdasarkan beberapa pembahasan di atas tentang puisi, khususnya berjudul “Kisah yang paling puisi”  karya Dimas Indianto S. dianalisis dengan cara stuktural dan semiotik. Tidak dapat dipungkiri bahwa analisis tersebut selalu ada secara bersamaan karena keduanya saling berhubungan.
            Secara singkat bahwa analisis puisi secara struktural membahas bahwa puisi merupakan merupakan suatu satuan yang bersistem yang unsurnya saling berkaitan ,membentuk suatu kesatuan. Dan analisis puisi secara semiotik adalah memburu tanda-tanda pada sebuah puisi yang memungkinkan puisi mempunyai arti.
            Adapun beberapa kriteria dalam menganalisis puisi secara struktural dalam puisi yang berjudul “Kisah yang paling puisi”  karya Dimas Indianto S.,berikut kriterianya :
    A. Analisis kata
       1.Pilihan Kata atau Diksi
            Secara singkat bahwa di dalam puisi, diksi sangatlah penting,selain untuk menyampaikan gagasan pada pembaca juga harus mampu menggambarkan imajinasi penyair kepada pembaca.
       2.Gaya Bahasa
       Dalam puisi gaya bahasa seperti majas selain untuk mencapai kepuitisan juga untuk  memperindah puisi yang ditulis penyair.
       3.Citraan atau Pengimajinasian
       Merupakan kata atau susunan kata dalam sebuah puisi agar menimbulkan efek terhadap panca indera dengat mengaktifkan imajinasi pembaca.
4.Sarana Retorika
       Susunan bahasa yang mengandung konsep pemikiran yang khas sehingga pembaca  dituntut untuk berpikir.
B.   Analisis Struktural dan Semiotik
            Analisis struktural dan semiotik ini merupakan salah satu teori krtik sastra, untuk menganalisis sastra yang merupakan struktur yang bermakna dan terdiri dari sistem tanda, analisis dengan structural dan semiotik tidak bisa dipisahkan.

C.   Ketidaklangsungan Ekpresi
Secara singkat ketidaklangsungan ekpresi ini dalam puisi memberikan makna lain daripada bahasa biasa, konvensi tambahan puisi, menyatakan pengertian-pengertian dan hal-hal secara tidak langsung, yaitu menyatakan suatu hal dan berarti yang lain.





DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys.2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Noor, Redyanto.2010. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang : Fasindo.
Pradopo, Rachmat Djoko.2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapanya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo,Rachmat Djoko.2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Wachid B.S., Abdul.2009. Analisis Struktural Semiotik. Yogyakarta : Cinta Buku.
Wiwaha, A.A. et al .2012. Bunga Rampai Buku Puisi  Pilarisme. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.